Sari Pati Tanah, Jannah, dan Nar
Wahai Sang Penjaga ruh..
Pasangkanlah sayap-sayap sejati yang tak
akan pernah patah
Meski pundak-pundak ini terasa semakin
rapuh
Wahai Dzat yang Merajai kalbu, Yang Maha
membolak-balikkan hati
Diri ini kecil tak berarti
Nista, hina-dina kian membumbui tapakan
ini
Entah mengukir, lama-lama berair ataukah
memang benar mengukir di atas air?
Oh.. Pujangga
ulung.. kemanakah kata yang kian tak berujung..?
Kemanakah
ejawantah yang tak putus maknanya..?
Tanya jiwa tak
terjawab yang teduh akan keheningan sungkur dalam sujud
Sari pati tanah
yang dengan-Nyalah ditiupkan ruh pembangun jiwa
Yang di dalam
sebuah raganya ditempatkan segumpal daging penguasa jiwa
Oh Dewa-Dewi
terbang-terbang tak peduli kapan berhenti
Mengitari
nirwana suci, akankah naik menjadi penunggu Jannah
Ataukah terbakar
menjadi bahan bakar api menganga di dalam lubang Nar..?
Jawabnya
tanyakan kepada diri dan hatimu
Penggambaran
diri yang kian abstrak pada kaca yang semakin retak
Menjerumuskan..
menistakan sebuah pijakan
Seperti embun
yang kian berhamburan atau bahkan setetes b
erlarian di atas daun
erlarian di atas daun
Menyejukkan..
menenangkan..
Senandung itu bisa saja tak bersuara
Syair itu bisa saja tak terbaca dan tak
kuasa manyapa pembacanya
Sayap-sayap terkadang patah sehingga tak
sanggup berbenah
Bilakah Sailendra masih kokoh berdiri
tegaknya?
Segerombol kisah kini telah tergambar
jelas
Melukis begitu membahana keindahan yang
tak tergambarkan
Allah Azza Wa Jalla…..
Tiada terhapus noktah hidup yang
terlajur terpatri
Sekelumit skenario saling bergandeng
menyusuri goresan tinta-Nya yang kering
Tak akan begitu saja terhempas,
terpental, namun telah tersemaikan
Seperti nurani yang semoga tak akan
kering iman, islam , serta nur-Nya
Sebongkah misteri meledak terpecah
belah?
Ataukah membatu, mengerong, merong-rong
hingga ke dasar?
Usahlah
berkilah..!
Hidup ini tak
indah, atau apalah…
Seperti berjalan
lururs kemudian menoleh
Terlihat
jiwa-jiwa melambaikan tangan dengan senyum simpul
Menafsirkan
setiap perjumpaan dan perpisahan pada yang di cinta
Cinta dunia,
akankah hanya cinta fana saja? Mungkinkah hakiki bagai Cinta-Nya?
Jawabnya pada
nuranimu sendiri…
Bak pewayangan yang memainkan lakon,
Tak dapat kau pilih dari rahim yang mana
engkau dilahirkan
Tinta takdir sudahlah kering
Bila jiwa-jiwa yang tak punya kuasa
hanya meronta saja
Lalu apa makna syukur yang sejati?
Bila hanya siang yang kau renungi, lalu
bagaimna dengan malam yang tak terganti?
Seribu tanya kian menghantui
Bukan.. bukan
itu..
Bukan juga iya
yang disana menunggu sambil berpangku
Tapi mereka yang
setia disana menyediakan pangkuan setiap hela nafasmu
Bukan permata
yang berkilauan berbinar terang
Tetapi besi yang
ditempa diatas bara menjadi sebuah pusaka
Kamis, 12 Februari
2015 03:21 AM

Setiap kata tak akan bermakna jika tak
ada yang memaknainya, setiap ucap tak akan berarti jika tak ada yang
mengartikan. Hakikatnya setiap manusia hanya mampu melaksanakan apa-apa yang
menjadi Kuasa-Nya, tak lebih. Bersyukur dengan segala karunia-Nya,
menganugerahkan insan-insan mulia sumber segala inspirasi dan motivasi terbesar
dalam hidup yang berjalan seperti pelangi yang melengkung di nirwana.
Ulfa
Romlah
Kamis,
12 Februari 2015 3:46 AM