Selasa, 30 Desember 2014

Kemarau, Hujan, dan Musim Semi Di Penghujung Tahun



Kemarau, Hujan, dan Musim Semi Di Penghujung Tahun
Kurun waktu sekejap rasanya begitu melekat menggambarkan detailnya rentetan yang terjadi di penghujung tahun ini. Berbagai peristiwa luar biasa justru lalu lalang di hadapanku meninggalkan banyak hikmah yang tependam. Entahlah diri ini rasanya harus senantiasa merendahkan hati menambah rasa syukur yang tiada henti. Engkau yang mengindahkan setiap langkah yang hamba lalui hingga hamba tak kuasa untuk berkata tidak. Sekejap hamba terlena, namun dengan tegas sedetikpun engkau tak pernah membiarkan hamba terlena akan kenyamanan yang bisa saja membius hamba. Sayup sepoi angin memang kian teduh, bahkan burung ikut bersenandung dalam rerintik hujan sekalipun. Semangat yang masih saja fluktuatif ini kian bergelayut berupaya menahan diri untuk berlari lebih kencang. Tuhan, namun hamba tak tau mengapa rasanya usia ini tak akan lama. Bayang sendu akan rumah terakhir itu seolah nampak begitu nyata terlihat. Bahkan hampir tiap waktu hamba terkadang terdiam dan mengingatnya.
Netra yang kian sayu, raga yang kian melemah
Tak kuasa menembus ruang dan waktu yang masih terlihat panjang
Tangan dan kaki rasanya semakin lunglai
Bingkai kalbu tak jua membungkus bintang kejora
Bulan bintang hanya sesekali berkedip, lalu padam
Hanya tersedu menyisakan sembilu
            Matahari akhir-akhir ini sering tersenyum terlebih dahulu, bahkan mendahului senyumku yang seharusnya merekah sejak petang. Aku tak paham dan bahkan terus bertanya, kemanakah jiwa yang bersemangat itu?. Hari-hari seolah terlewat begitu saja tanpa karya besar yang berarti. Semangat yang berkobar rasanya hanya sepintas seperti kembang api yang meyala indah lalu padam hanya meninggalkan abu. Aku sebenarnya menyadari bahwa ini adalah keburukan yang tak pantas untuk ku teruskan. Kemalasan yang bergelayutan seolah menghambat semua karya yang harusnya sudah ku tuliskan. Tinta emas sudah menunggu, namun masih saja tinta merah yang aku pilih untuk menulis.
“Ini salah dan ini keliru, Tuhan ampuni hamba,” Kalimat ini seringkali menghantui diri ini. Namun Tuhan tak begitu saja diam mebiarkan hamba-Nya yang larut dalam kemalasan, kepasrahan, bahkan ketidak teraturan hidup. Allah membangunkan hamba-Nya dari penyakit malas dengan banyak cara yang teramat hebat. Kali ini kejutan besar beliau datangkan pagi-pagi melalui pesan singkat yang dikirimkan dosen untuk membantu beliau melaksanakan “Pengabdian Masyarakat 2014”. Semangat yang mulai redup akhirnya dapat menyala kembali seperti padang pasir yang tiba-tiba berubah menjadi oase. Laksana kemarau panjang yang tiba-tiba turun hujan deras dan membasahi semua tanah yang kering kerontang. Persiapan yang mendadak, namun semuanya dapat terselesaikan hingga kami dapat berangkat menuju lokasi pengabdian tengah malam dan sampai di sana pagi buta.
Usai Pengabdian, segera kami bergegas kembali ke Kota Malang, karena esok hari Ujian Akhir Semester (UAS) akan dimulai. Dalam perjalanan menuju ke Malang, suatu kehormatan dosen ku bisa sejenak meluangkan waktu untuk singgah dan bersilaturahmi kerumah ku dan berbincang dengan ibu di rumah. Sampai di kota Malang dengan sisa-sisa energi yang harus tetap menyala aku harus mempersiapkan untuk ujian esok hari hingga tengah malam. Inilah wujud nyata cara Allah yang tak membiarkan hamba-Nya terlalu lama terlena akan kenyamanan dunia. Satu minggu penuh terlewati untuk pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS). Pada hari terakhir, setelah selesai mengerjakan ujian ternyata ada seorang dosen yang mengajak ku untuk menyelesaikan laporan penelitian beliau. Alhamdulillah rezeki lagi, dan lagi-lagi inilah jalan Allah yang betul-betul indah. Inilah rute-rute Allah yang membuat salah satu angka dari deretan mimpi ku yang terpasang dikamar dapat tercentang.
            Puji syukur rasanya tiada henti ku panjatkan kepada Allah atas segala bentuk kemudahan yang dihadirkan. Akhirnya pelkasanaan ujian akhir telah berakhir dan proyek membantu dosen juga tuntas terlaksana. Kini paket liburan sebagai hadiah dari Tuhan juga datang beruntun padaku. Pasca ujian berkahir, seharian penuh selam 12 jam aku dapat menikmati waktu bersama seorang sahabat, carica namanya untuk berkeliling menyusuri indahnya kota Malang. Dengan rintik hujan yang mengiringi perjalan, semua tempat yang telah masuk daftar list dapat kami kunjungi dan memberikan kesan yang berwarna-warni seperti gulali. Ya, begitulah yang kami alami, mulai dari dikejar-kejar satapam karena mencuri-curi waktu dan lokasi untuk sekedar mengabadikan momen bersama di kompleks perumahan mewah sambil bersholawat, bersenandung, dan berkhayal suatu saat dapat memiliki hunian yang seperti ini. Mungkin ini gila bahkan sebagian orang tersenyum mendengar hal ini yang terkadang dianggap konyol. Tetapi sekali lagi, ini adalah bagian dari deretan mimpi yang harus tercentang. aku hanya berusaha mengamalkan apa yang aku dapat. Hal ini adalah salah satu yang diajarkan Ustadz Yusuf mansyur ketika bertausiyah dan ini benar-benar aku lakukan. Selepas dikejar-kejar satpam, kami menuju lokasi lain untuk kembali mengabadikan momen bersama tepatnya disebuah wisma yang dulunya rumah belanda. Eh, ternyata banyak fotografer yang sedang mengambil foto di sana dengan model masing-masing. Termasuk aku dengan teman yang masih seperti anak bawang dan iseng-iseng saja hunting foto di sana. Tetapi tanpa di duga kami berkenalan dengan salah satu fotografer dan ditawari jadi model hijab, dan aku hanya menyambut dengan senyum. “Mari kita tunggu kelanjutan kisahnya saja,” ujarku dalam hati, sambil tertawa sendiri.
            Adzan Asyar telah berkumandang diberbagai penjuru, saatnya semua umat muslim menuju kerumah Allah yang begitu mulia. Rintik hujan semakin deras, bahkan tak jua reda sampai aku selesai melaksanakan sholat. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu adzan maghrib di masjid tersebut baru kemudian melanjutkan perjalanan. Entahlah ini kebetulan ataukah sudah berjalan berdasarkan takdir Tuhan. Adzan maghrib akan berkumandang sekitar 45 menit lagi, dan waktu yang luas ini membuat ku berdiri dari tempat duduk lalu mengambil sebuah al-qur’an yang terletak disebuah rak. Sedang aku membaca Kalimatullah, ayat-ayat Allah yang teramat suci dan Maha Agung carica menggambar peta perjalan yang kami lakukan sejak pagi tadi. Tiada terasa, tepat beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang puji syukur saya panjatkan kembali dengan penuh syukur tiada henti. “One Day, One Juz. On A Day For Future,” itulah tema yang mungkin sangat cocok menggambarkan perjalanan hari ini. Satu juz telah terlewati, Alhamdulillah usai menjalankan kewajiban kami, hujanpun reda dan kami dapat melanjutkan perjalanan hingga semua daftar lokasi yang dikunjungi telah lengkap. Tiket perjalanan dari Allah tak berhenti sampai disitu saja, bahkan Allah menghadiahkan banyak hal yang tak kuasa ku tuliskan karena keterbatasan kata. Yang jelas semuanya telah Allah takdirkan dengan indah, insan yang bijakpun tidak akan serta merta dapat memaknai semua yang terjadi.
Tepat pada hari senin, 22 Desember 2014 adalah “Mother’s Day”. Aku memang belum bisa pulang kerumah dan belum bisa mencium tangan, memeluk, dan bersimpuh di syurga yang indah yang dimiliki ibu. Namun dengan berucap lirih melalui telefon, aku hanya berharap itu bisa mewakili diri ini yang belum bisa kembali ke rumah. Setiap tulisan mungkin terbatas akan karakter dan suku kata, setiap masa mungkin terbatas akan suatu hal yang disebut waktu. Setiap jiwa memiliki keterbatasan akan yang disebut takdir, dan setiap apa yang kita lakukan pasti ada batasan yang disebut jalan Tuhan. Namun Tuhan tak pernah sedetikpun jengah, lelah, bahkan lengah mengawasi hamba-Nya. Tuhan tak pernah sebentar saja menyingkir, namun Tuhan sebenarnya kian mendekat dalam hati, jiwa, raga, dan bahkan setiap denyut nadi, detak jantung, dan derpa langkah yang terkadang terseok.

Jiwa yang terdiam tekadang memaknai
Saduran yang indah terkadang tak dapat mewakili
Syukur itu harusnya tiada henti
Bulan seharusnya memang tak pernah lelah bersinar dalam kelam
Bintang seharusnya tak pernah bersembunyi di balik pekat malam

Hari itu, aku harus menyusul kawan-kawan pengurus HMJ yang masih berlibur di villa. Setibanya di villa, kawan-kawanku sedang asyik menonton film di ruang tengah hingga sebagian dari mereka tidak menyadari bahwa ada penghuni baru yang datang, yaitu aku. “Hehehe, maklum saja mungkin mereka sedang seru-serunya nonton,” pikir ku. Seperti biasanya, disetiap acara aku lebih senang berada di dapur berkutat dengan asap masakan dan bermain dengan bumbu-bumbu di sana. Selepas adzan maghrib berkumandang semua penghuni villa segera melaksanakan ibadah sholat maghrib. Sesuai jadwal, kami akan bersenang-senang di sebuah tempat wisata hingga pukul 21.30 WIB. Namun, belum juga melewati waktu yang disepakati, aku sudah kembali ke villa dan menyiapkan untuk acara selanjutnya yakni bakar jagung dan ubi. Inilah wujud kebersamaan, selama satu kepengurusan kami belajar bagaimana menjadi “Super Team”. Belajar memaknai satu persatu arti kebersamaan, kekeluargaan, tanpa terlupa semuanya berbalut keprofesionalan dalam bekerja.
Selasa, 23 Desember 2014 adalah hari terakhir kami berada di villa dan menjadi hari terakhir pula aku berada di bumi arema untuk selanjutnya aku pulang kerumah melepas rindu dengan keluarga tercinta. Namun rencana tinggalah rencana, manusia hanya bisa memperkirakan jadwal yang akan dilaksanakan. Tetapi pada akhirnya semua akan kembali kepada takdir Tuhan. Usai memasak dan mempersiapkan makan siang bersama kawan-kawan yang lain, tiba-tiba aku memperoleh kabar bahwa nenek dari seorang sahabatku yang hari jum’at lalu aku jenguk di sebuah rumah sakit telah meninggal dunia. Seraya senyuman ku tiba-tiba sirna, semua rasanya membeku dan tak terdengar apapun lagi. Yang berputar dalam pikiran ini adalah bagaimana agar aku secepatnya bisa ta’ziyah, bahkan aku tak berpikir lagi untuk pulang hari itu. Ya, renacanaku untuk pulang harus tertunda dan bagiku itu tak masalah. Satu keinginanku hanya untuk segera berada di samping sahabatku yang tentunya sedang bersedih. Aku segera bergegas untuk pulang ke kos dan selanjutnya bersiap untuk ta’ziyah. Tetapi mungkin benar, bahwa fisik ini punya keterbatasan dan raga memiliki hak untuk mengeluh lagi. Sepanjang jalan aku hanya berdoa bisa sampai di tempat kos dengan selamat karena mata yang semakin sayu untuk menatap keramaian jalan raya. Konsentrasi kian terpecah, aku hanya bisa berdoa dan berupaya untuk tetap sampai di tempat kos. Sesampainya di kamar kos aku tak kuasa untuk langsung melanjutkan perjalanan, akhirnya aku memutuskan untuk mengistirahatkan diri sebentar.
Bangun tidur, aku segera bersiap untuk berangkat. Dengan kepala yang sedikit pening, aku berangkat dengan berpayung awan yang mulai mendung. Aku bahkan sempat berseteru dengan carica yang bersamaku sambil menyusuri jalan karena suatu hal dan kondisi yang mungkin sedang tertekan. Awan mulai menangis, menurunkan air matanya bersama air mataku yang juga ikut turun dengan derasnya. Sambil berusaha menutup telinga dari teriakan carica yang memaksaku untuk berhenti agar aku mau memakai jas hujan. Tapi seolah tak menghiraukannya aku terus melaju menembus hujan dan semakin cepat memacu gas sepeda motor. Entahlah, aku sudah tak memikirkan perihal sakit, flu, atau apapun yang mungkin saja bisa mneyerangku karena hujan. Rasanya hatiku sudah kian menjerit dan ingin cepat sampai. Tetapi aku bersyukur, hati ini masih dilunakkkan dan akhirnya aku berhenti, sepeda motor caica dititipkan dan akhirnya kami berboncengan. Itulah kawan, itulah sahabat, peredam dikala amarah sedang membuncah sekaligus penghapus air mata ketika sedih itu datang mendera.
            Perjalanan kami semakin tak biasa, jalan yang kami lewati ternyata keliru, dan kami harus melewati jalan yang dikatakan banyak orang lumayan menakutkan. Tetapi itulah carica, walaupun banyak yang berkata negatif tetapi jiwanya semakin tertantang untuk menaklukan jalan itu. Syukurlah, akhirnya kami sampai di jalan besar dan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan raya. Maklumlah kami belum pernah berkujung kesana sebelumnya. Kami harus kembali bertanya kepada orang-orang sekitar, ternyata kami harus putar balik. Semakin jauh rasanya kami putar balik tak kunjung kami mnemukan rumah almarhumah. Aku merasakan ada yang berbeda dari motorku.
“nggak ada apa-apa te, itu tadi karena jalan nggak rata jadi rasanya motornya begini,” jawab carica. Aku semakin merasa ada yang aneh, dan aku meminta carica berhenti. Ternyata benar, ban motornya ternyata bocor mungkin karena terlalu banyak masuk lubang yang tertutupi air hujan.
Aku hanya bisa menangis, rasanya hari itu kami sangat apes. Perjalanan jauh tak kunjung sampai malah ban motor bocor. “Oh tidak, jam berapa aku sampai kalau keadaannya seperti ini?,” tanyaku dalam hati sambil terus menangis. Untungnya dan yang sangat aku syukuri adalah kami berhenti tepat di depan tukang tambal ban. Takdir Allah memang lebih indah dari segalanya, dan segalanya memang benar telah di atur dan kita harus menjalankan sebaik-baiknya. Usai ban motor selesai ditambal kami segera melanjutkan perjalanan dengan lebih teliti mengamati kanan kiri jalan mencari bendera penanda rumah yang kami tuju. Akhirnya kami sampai dirumah almarhumah dan bertemu sahabat kami. Oh ternyata, rumah ini sudah kami lewati sebanyak tiga kali. Entah apa yang membuat kami belum jua menyadari dan menemukan rumah ini sebelumnya. Tetapi kenbali kami bersyukur, andaikan kami menemukan rumah ini dengan mudah, dan segala yang kami lewati petang ini tak terjadi mungkin kisahnya tak akan seru seperti ini.
            Esok hari, waktunya aku kembali pulang ke Tulungagung setelah kemarin tertunda. Aku menyusuri jalanan di bawah terik matahari yang tersenyum cerah siang ini. Aku dirumah hanya sehari semalam, karena tiket kereta perjalanan ke Surabaya untuk mengikuti acara keluarga di sana sudah tersedia dan recananya aku akan kembali kerumah pada hari senin. Tiada terasa sudah beberapa hari aku berada dirumah kakak di Surabaya hingga tak terasa sudah hari Minggu, 28 Desember 2014.
“Hari-hari itu aku merasa memiliki keluarga yang sempurna, melihat bapak, ibu, kakak-kakak ku, sepupu, dan keponakan berkumpul bersama. Walaupun aku hanya terdiam mematung di ruangan ini, tetapi setidaknya aku merasa memiliki keluarga yang lengkap hari-hari ini. Hanya bisa tersenyum dan menangis di dalam hati saja. Berpura-pura sibuk dengan urusan ku sendiri. Padahal tanpa mereka tahu sebenarnya aku sedang menyimpan segudang rasa yang tak perlu diungkapkan kepada mereka,” ujarku dalam hati sambil menyaksikan keakraban canda tawa diruang itu.
Iya, begitulah adanya dan takdir yang harus kami jalani. Aku dan bapak memang tinggal terpisah karena keputusan bapak dan ibu untuk tidak bersama sejak aku masih bayi. Aku dan bapak terpisahkan oleh jarak Tulungagung-Surabaya. Dan jarak diantara kami terasa semakin luas karena komunikasi yang sangat minim diantara kami. Inilah pembelajaran yang datang seperti hujan mutiara bagiku. Aku semakin didewasakan oleh keadaan yang tak biasa dan didikan yang luar biasa oleh takdir Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Aku hanya berharap bisa berbagi cerita dengan anak-anak sesama broken home  bahwa hidup tak berhenti dititik itu. Keluarga yang tak utuh bukanlah penghalang untuk terus maju meraih mimpi. Kasih sayang yang mungkin saja timpang bukan lagi alasan untuk menjadikan diri ini membabi buta menuangkan semua kekesalan kepada lembah hitam yang sewaktu-waktu dapat menjerumuskan kita. Aku juga ingin belajar bersama anak-anak yang memiliki keluarga lengkap akan makna kesyukuran diberi nikmat kelengkapan kasih sayang dan arti memiliki keluarga.
Dalam hangatnya Susana diruang itu, aku mendengar handphone ibu berbunyi, dan ibu bergegas mengambilnya. Namun ternyata sudah terlambat, panggilan masuk itu sudah dimatikan. Panggilan itu dari nomor yang tidak dikenali oleh ibu, kami kira itu adalah panggilan dari bunda (panggilanku kepada adik ibu) yang merantau di luar negeri. Selang beberapa detik kemudian handphone kakak ku juga berbunyi dan bergegas diambil, ternyata itu adalah panggilan dari adik ibu yang beada di rumah Tulungagung. Segera kakak ku memberikan telefon itu kepada ibu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un,” hanya kata itu yang terlontar dari ibu setelah mengangkat telefon.
“siapa yang meninggal,” tanya kakak ku dengan sigap.
“kakek mungkin,” kataku dengan spontan seperti aku sudah memperoleh petunjuk dan tak menyebutkan opsi yang lain. Ternyata benar yang ku ucapkan, kakek ku tercinta telah berpulang. Beliau meninggalkan aku sebelum aku memandikan, menyuapi, bahkan merawatanya kembali. Aku sudah beberapa minggu tak bertemu kakek yang berada di kamar belakang di rumah adik ibu. Aku hanya mendengar cerita tentang kondisi dan keadaan beliau dari ibu yang setiap hari merawat beliau. Aku semakin menyesal ketika aku teringat bahwa aku belum menengok beliau ketika aku berada dirumah sehari semalam. Sekarang, semuanya sudah terlambat dan perjalanan secepat apapun tak mungkin membawa ku secepat kilat sampai dirumah. Aku dan seisi rumah segera bangkit dari tempat duduk, tanpa berpikir panjang kami segera memasukkan semua keperluan ke dalam tas yanga akan di bawa ke Tulungagung. Bersama air mata yang menetes semua barang bawaan segera disiapkan. Kami teringat bahwa salah seorang keponakan ku belum pulang dan masih bermain di luar rumah. Sambil terus menghubungi anaknya, kakak ku bermaksud menunggu anaknya pulang baru kemudian kami berangkat. Tetapi tangisan ku kian menjadi dan tak dapat ku tahan lagi. Mungkin tak tega mendengarkan aku, kakak iparku segera mengajak berangkat dan memutuskan untuk menitipkan anaknya yang belum datang kepada saudara disana.
Rabb.. Sungguh semua yang hamba miliki di dunia adalah milik-Mu
Maka jangan biarkan hamba mengingkari apa yang sejatinya akan kembali kepada-Mu
Sejatinya semua akan kembali ke pangkuan-Mu
Hamba tak boleh sedikitpun berkilah
Justru sesungguhnya hamba amatlah dekat dengan kesyukuran
Sepanjang jalan aku merenungi rentetan peristiwa yang terjadi. Rasanya segalanya telah begitu indah dirangkaikan Tuhan untuk hamba-Nya yang penuh akan derasnya hujan dosa. Sembari mobil terus menembus keramaian kota, bulir air mata tiada henti berjatuhan membasahi wajah yang kian sendu dan sembab. Mungkin inilah yang disebut dengan petir di siang bolong, benar aku merasakan. Rasanya memang menggelegar, sekejap membekukan suasana. Aku terdiam dari tangis karena tertidur di dalam mobil yang terus melaju.
Ketika aku terbangun, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi yang sekejap hilang dan lantas pergi beriringan dengan terbukanya kedua kelopak mata ini. Sungguh pedih, ternyata aku masih saja berada di dalam mobil yang sama yang membawaku melaju kencang menyusuri jalanan dan masih dengan tujuan yang sama. Aku hanya bisa diam, bepura-pura tak lagi menangis dalam keramaian, hanya terdiam dan menyimpan sebongkah pengharapan yang rasanya sulit untuk tercapai. Ya, sederhana mungkin tetapi rasanya sudah tak mungkin., jarak tempuh Surabaya-tulungagung kurang lebih memakan waktu 4-5 jam tak akan sanggup dipercepat walaupun aku berharap keajaiabn datang, jarak ini diperpendek atau mobil ini melesat secepat kilat. Terlalu konyol, hanya saja inilah mimpi seorang cucu yang ingin bertemu sang kakek untuk terakhir kalinya. Kakek yang mengajarkan betapa kerasnya hidup. Mengajarkan makna iya adalah iya, dana tidak adalah tidak. Tak ada jawaban selain itu karena sebuah arti ketegasan walaupun terkadang hal itu sangatlah keras dan terkesan menutup telinga akan pendapat orang. Tetapi itulah berlian yang mungkin tak dapat ku temui di tempat lain di lapisan dunia bagian manapun. Jiwa keras dan tahan banting tanpa disadari sedikit demi sedikit telah melekat, seperti sosok bapak yang kesekian yang hadir melengkapi hidup ku. Iya, beliau seperti pengganti bapak walaupun aku tahu bahwa sosok bapak tak akan terganti oleh siapapun di dunia fana ini. Namun begitu, aku juga tak dapat memungkiri bahwa kakek seringkali menjadi orang kedua setelah ibu sebagai tempatku bersimpuh setiap hari kemenangan yakni hari raya idul fitri tiba. Entah tahun-tahun berikutnya siapa yang akan menggantikan posisi itu sungguh belum terbayang sama sekali dalam benakku yang masih saja kalut. Aku terus berusaha bersabar untuk sampai di rumah, walaupun aku tahu akau sudah tidak bisa melihat kakek ku lagi.
“jika nanti aku tidak bisa bertemu kakek, boleh ya bu besok aku ke makam beliau,” pintaku lirih kepada ibu. Beliau yang memahami kepedihanku langsung mengiyakan permintaanku. Benar saja, setibanya dirumah suasana sudah lengang. Walaupun masih terus berdatangan orang-orang yang berta’ziyah. Aku masih belum percaya bahwa ini adalah nyata.
            Hingga tengah malam aku masih saja merenungi hari-hari yang sudah terjadi. Menyibak kembali hari-hariku selama di Malang hingga detik ini aku kehilangan kakek ku. Seperti sebuah kaledioskop 2014, tahun ini rentetan yang terjadi begitu tertata rapi terbungkus takdir Ilahi. Plakat kemenangan ku bersama sahabat-sahabatku memenangkan sebuah kompetisi masih terpajang rapi di sudut kamar kos. Firasat mengenai usia yang tak tahu hingga kapan diberi kesempatan membuka mata kembali, hingga kecelakaan yang sempat ku alami rasanya merupakan pelajaran yang teramat berharga. Paket liburan yang dihadiahkan Allah dengan beruntun, dan pil pahit yang harus ku telan karena meninggalnya kakek rasanya begitu jelas masih tergambar dalam ingatanku. Tiada guna kini ku sesali kembali apa yang sudah terjadi. Karena jauh dari segalanya, yang menjadi bagian terpenting adalah bagaimana caraku memaknai hidup yang terus menerus bergulir beriringan dengan waktu yang tiada henti mengukir kenangan. Do’a yang mengalir rasanya lebih layak dan jauh lebih pantas untuk ku hadiahkan kepada kakek sebagai wujud kasih sayangku. Walaupun sekarang aku hanya memiliki kuasa untuk mengelus dan mencium batu nisan beliau, tetapi bagiku ketenangan beliau di sisi-Nya adalah anugerah yang tak tertandingi oleh apapun. Aku bersyukur Allah masih memberi ku kesempatan untuk membuka mata disetiap pagi ku. Menyaksikan mentari yang tersenyum dengan hangatnya. Kini aku mngerti bahwa Allah sengaja mengatur segalanya untukku dengan sangat baik, mungkin aku harus berlatih lebih peka akan setiap hal yang aku rasa. Satu lagi hkmah besar dari seluruh rentetan kisah ini adalah datangnya bapak kembali ke rumah Tulungagung setelah sekian lama kurang lebih 19 tahun beliau tak pernah berkunjung kemari, Subhanallah.
            Malam pergantian tahun akan segera datang esok hari, tetapi mungkin akan jauh berbeda. Pergantian tahun kali ini tak ada gegap gempita suara terompet dan kembang api yang merekah indah dilangit lepas. Malam pergantian tahun kali ini adalah wahana untuk bertafakur, mendengarkan setiap Kalimatullah yang setiap malam selama tujuh hari ini insyaallah berkumandang di rumah. Mengiringi kepergian kakek kami tercinta menuju kehadirat-Nya. Mungkin inilah ladang renungan yang dipersiapkan oleh Tuhan untuk menjadikan kami semakin bijak dalam memandang hakikat kehidupan. Semua milik-Nya, dan kepada-Nya segalanya akan kembali. Sempat merasakan keringnya iman seperti kemarau panjang, derasnya derai air mata yang turun bak hujan yang membasahi bumi, hingga upaya bangkit dari sebuah keterpurukan laksana bunga sakura yang kembali merekah di musim semi penghujung tahun mungkin telah terlewati. Namun kehidupan sejati tak akan pernah berhenti. Manusia yang tangguh adalah ia yang dapat melewati segalanya dengan tetap belajar tentang apa yang disebut ikhlas, Sabar, dan tawakal. Hingga suatu hari seluruh mimpi akan tercentang, orang tua akan tersenyum, sekitar akan merasa bahagia, dan semesta akan menyambut dengan sayup sang bayu yang kian menyegarkan takdir yang teramat indah. Hidup akan terus berjalan, sang waktu akan selalu berputar, pagi berganti siang dan siang berganti malam, serta malam kembali berganti pagi. Semangat harusnya tak pernah padam, rentetan mimpi harusnya tak pernah berhenti dikejar, semua lembaran lama telah tercatat dan tertumpuk rapi di atas rak untuk kapan saja bisa di ambil dan dibuka kembali untuk dijadikan pelajaran atau bahkan referensi menatap hidup ke depan. Namun, lembaran berisi deretan mimpi selanjutnya juga telah siap terpampang rapi. Menunggu ikhtiar dan doa yang tiada henti untuk mencapainya.
Sedari dulu hakikat kehidupan hanya Engkau yang Maha Mengetahui
Insan-insan tempat khilaf dan dosa bermuara
Terkadang tak terjaga oleh lapisan iman
Terkadang terkikis hilang lenyap seketika teriris
Bila segalanya milik-Mu
Hakikat akan menjadi hakikat
Tak terbantahkan, tak terelekkan sedetikpun
Sepintas lewat lalu lalang tak terbayang
Keabadian sebuah hikmah tak jua akan terhapuskan
karena itulah yang disebut sebuah keniscayaan

Salam Penulis J
Selasa, 30 Desember 2014
Tulungagung 23:41 WIB






    BIODATA PENULIS

Nama Panggilan                    : Ulfa
Nama Lengkap                      : Ulfa Romlah
Tempat, Tanggal Lahir        : Tulungagung, 14 Juli 1994
Alamat                                    : - Jl. Dewi Sartika Dusun Klaten Rt 3/Rw 5
    Desa Tegalrejo, Kecamatan Rejotangan,
    Kabupaten Tulungagung
-  Jl. Mayjend Panjaitan No. 53 Gang V, Malang
Nomor Handphone               : 085736752744
PIN BB                                   : 7F49A9A5
Akun Facebook                     : Ulfa Romlah
Blog                                        : http://ulfaromlah14.blogspot.com/















Assalamu’alaikum wr.wb.
                Tarian jemari ini tak akan pernah bermakna tatkala apa yang tertuang di dalamnya sama sekali tak bermanfaat bagi sesama. Saya berharap karya kecil ini dapat memberikan inspirasi dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Hakikatnya hidup adalah sebuah ladang pembelajaran yang tiada habisnya dapat dipetik hikmahnya yang terkadang tersembunyi. Begitu pula hidup yang saya jalani, rasanya keseluruhan dari hidup yang dihadiahkan Allah harus selayaknya saya syukuri tanpa terkecuali. Sebuah karya tak akan pernah muncul kepermukaan jika tak ada yang memberikan stimulusnya, saya percaya itu. Karena sebuah karya besar sering kali terilhami dari berbagai kisah yang melatar belakangi. Hampir seluruhnya saya tulis dan tercatat serapi mungkin di sini, agar suatu hari mungkin anak cucu saya bisa membacanya kembali. Sungguh saya hanya ingin berbagi, menebarkan kisah-kisah yang sekali lagi saya harap dapat menginspirasi kita semua. Memetik hikmah, menuai pembelajaran, dan mengantonginya sebagai bekal untuk terus hidup ke depan. Menggapai dan meraih semua mimpi dan impian.
Seluruh karya yang mungkin pernah saya tuliskan tak lepas dari barisan orang-orang hebat yang berjajar mendidik, membimbing, dan mengarahkan saya. Serta tak henti-hentinya mencurahkan inspirasi yang tiada pernah habisnya. Puji syukur saya panjatkan kepada Pencipta dan Pemilik jiwa dan raga ini Yang Maha Hakiki, Kekal, lagi Abadi, yakni Allah Aza Wa Jalla yang selalu mengizinkan netra ini terbuka kembali disetiap pagi. Baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang sennatiasa menjadi panutan dan suri tauladan bagi umatnya. Terimakasih yang tiada terukur kepada Ibunda tercinta, Bapak, Bunda di perantauan, kakak-kakak, adik-adik, sahabat semua yang selalu menjadi sumber inspirasi disetiap tulisan saya. Menjadi api penyemangat yang setiap saat siap berkobar, dan memberikan pundak disetiap raga ini memerlukan sandaran dan ruang untuk berbagi.
Teristimewa untuk karya ini, terimakasih kepada kakek tercinta, semoga engkau tenang berada di sisi-Nya. Terimakasih telah ikut serta memberikan warna-warni dalam alur cerita cucu mu ini. Semoga doa-doa yang kami panjatkan sampai kepadamu di sana. We Love You So Much..
 Wassalamu’alaikum wr.wb.

Salam Penulis J
Rabu, 31 Desember 2014
Tulungagung 00:24 WIB

Kemarau, Hujan, dan Musim Semi Di Penghujung Tahun



Kemarau, Hujan, dan Musim Semi Di Penghujung Tahun
Kurun waktu sekejap rasanya begitu melekat menggambarkan detailnya rentetan yang terjadi di penghujung tahun ini. Berbagai peristiwa luar biasa justru lalu lalang di hadapanku meninggalkan banyak hikmah yang tependam. Entahlah diri ini rasanya harus senantiasa merendahkan hati menambah rasa syukur yang tiada henti. Engkau yang mengindahkan setiap langkah yang hamba lalui hingga hamba tak kuasa untuk berkata tidak. Sekejap hamba terlena, namun dengan tegas sedetikpun engkau tak pernah membiarkan hamba terlena akan kenyamanan yang bisa saja membius hamba. Sayup sepoi angin memang kian teduh, bahkan burung ikut bersenandung dalam rerintik hujan sekalipun. Semangat yang masih saja fluktuatif ini kian bergelayut berupaya menahan diri untuk berlari lebih kencang. Tuhan, namun hamba tak tau mengapa rasanya usia ini tak akan lama. Bayang sendu akan rumah terakhir itu seolah nampak begitu nyata terlihat. Bahkan hampir tiap waktu hamba terkadang terdiam dan mengingatnya.
Netra yang kian sayu, raga yang kian melemah
Tak kuasa menembus ruang dan waktu yang masih terlihat panjang
Tangan dan kaki rasanya semakin lunglai
Bingkai kalbu tak jua membungkus bintang kejora
Bulan bintang hanya sesekali berkedip, lalu padam
Hanya tersedu menyisakan sembilu
            Matahari akhir-akhir ini sering tersenyum terlebih dahulu, bahkan mendahului senyumku yang seharusnya merekah sejak petang. Aku tak paham dan bahkan terus bertanya, kemanakah jiwa yang bersemangat itu?. Hari-hari seolah terlewat begitu saja tanpa karya besar yang berarti. Semangat yang berkobar rasanya hanya sepintas seperti kembang api yang meyala indah lalu padam hanya meninggalkan abu. Aku sebenarnya menyadari bahwa ini adalah keburukan yang tak pantas untuk ku teruskan. Kemalasan yang bergelayutan seolah menghambat semua karya yang harusnya sudah ku tuliskan. Tinta emas sudah menunggu, namun masih saja tinta merah yang aku pilih untuk menulis.
“Ini salah dan ini keliru, Tuhan ampuni hamba,” Kalimat ini seringkali menghantui diri ini. Namun Tuhan tak begitu saja diam mebiarkan hamba-Nya yang larut dalam kemalasan, kepasrahan, bahkan ketidak teraturan hidup. Allah membangunkan hamba-Nya dari penyakit malas dengan banyak cara yang teramat hebat. Kali ini kejutan besar beliau datangkan pagi-pagi melalui pesan singkat yang dikirimkan dosen untuk membantu beliau melaksanakan “Pengabdian Masyarakat 2014”. Semangat yang mulai redup akhirnya dapat menyala kembali seperti padang pasir yang tiba-tiba berubah menjadi oase. Laksana kemarau panjang yang tiba-tiba turun hujan deras dan membasahi semua tanah yang kering kerontang. Persiapan yang mendadak, namun semuanya dapat terselesaikan hingga kami dapat berangkat menuju lokasi pengabdian tengah malam dan sampai di sana pagi buta.
Usai Pengabdian, segera kami bergegas kembali ke Kota Malang, karena esok hari Ujian Akhir Semester (UAS) akan dimulai. Dalam perjalanan menuju ke Malang, suatu kehormatan dosen ku bisa sejenak meluangkan waktu untuk singgah dan bersilaturahmi kerumah ku dan berbincang dengan ibu di rumah. Sampai di kota Malang dengan sisa-sisa energi yang harus tetap menyala aku harus mempersiapkan untuk ujian esok hari hingga tengah malam. Inilah wujud nyata cara Allah yang tak membiarkan hamba-Nya terlalu lama terlena akan kenyamanan dunia. Satu minggu penuh terlewati untuk pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS). Pada hari terakhir, setelah selesai mengerjakan ujian ternyata ada seorang dosen yang mengajak ku untuk menyelesaikan laporan penelitian beliau. Alhamdulillah rezeki lagi, dan lagi-lagi inilah jalan Allah yang betul-betul indah. Inilah rute-rute Allah yang membuat salah satu angka dari deretan mimpi ku yang terpasang dikamar dapat tercentang.
            Puji syukur rasanya tiada henti ku panjatkan kepada Allah atas segala bentuk kemudahan yang dihadirkan. Akhirnya pelkasanaan ujian akhir telah berakhir dan proyek membantu dosen juga tuntas terlaksana. Kini paket liburan sebagai hadiah dari Tuhan juga datang beruntun padaku. Pasca ujian berkahir, seharian penuh selam 12 jam aku dapat menikmati waktu bersama seorang sahabat, carica namanya untuk berkeliling menyusuri indahnya kota Malang. Dengan rintik hujan yang mengiringi perjalan, semua tempat yang telah masuk daftar list dapat kami kunjungi dan memberikan kesan yang berwarna-warni seperti gulali. Ya, begitulah yang kami alami, mulai dari dikejar-kejar satapam karena mencuri-curi waktu dan lokasi untuk sekedar mengabadikan momen bersama di kompleks perumahan mewah sambil bersholawat, bersenandung, dan berkhayal suatu saat dapat memiliki hunian yang seperti ini. Mungkin ini gila bahkan sebagian orang tersenyum mendengar hal ini yang terkadang dianggap konyol. Tetapi sekali lagi, ini adalah bagian dari deretan mimpi yang harus tercentang. aku hanya berusaha mengamalkan apa yang aku dapat. Hal ini adalah salah satu yang diajarkan Ustadz Yusuf mansyur ketika bertausiyah dan ini benar-benar aku lakukan. Selepas dikejar-kejar satpam, kami menuju lokasi lain untuk kembali mengabadikan momen bersama tepatnya disebuah wisma yang dulunya rumah belanda. Eh, ternyata banyak fotografer yang sedang mengambil foto di sana dengan model masing-masing. Termasuk aku dengan teman yang masih seperti anak bawang dan iseng-iseng saja hunting foto di sana. Tetapi tanpa di duga kami berkenalan dengan salah satu fotografer dan ditawari jadi model hijab, dan aku hanya menyambut dengan senyum. “Mari kita tunggu kelanjutan kisahnya saja,” ujarku dalam hati, sambil tertawa sendiri.
            Adzan Asyar telah berkumandang diberbagai penjuru, saatnya semua umat muslim menuju kerumah Allah yang begitu mulia. Rintik hujan semakin deras, bahkan tak jua reda sampai aku selesai melaksanakan sholat. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu adzan maghrib di masjid tersebut baru kemudian melanjutkan perjalanan. Entahlah ini kebetulan ataukah sudah berjalan berdasarkan takdir Tuhan. Adzan maghrib akan berkumandang sekitar 45 menit lagi, dan waktu yang luas ini membuat ku berdiri dari tempat duduk lalu mengambil sebuah al-qur’an yang terletak disebuah rak. Sedang aku membaca Kalimatullah, ayat-ayat Allah yang teramat suci dan Maha Agung carica menggambar peta perjalan yang kami lakukan sejak pagi tadi. Tiada terasa, tepat beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang puji syukur saya panjatkan kembali dengan penuh syukur tiada henti. “One Day, One Juz. On A Day For Future,” itulah tema yang mungkin sangat cocok menggambarkan perjalanan hari ini. Satu juz telah terlewati, Alhamdulillah usai menjalankan kewajiban kami, hujanpun reda dan kami dapat melanjutkan perjalanan hingga semua daftar lokasi yang dikunjungi telah lengkap. Tiket perjalanan dari Allah tak berhenti sampai disitu saja, bahkan Allah menghadiahkan banyak hal yang tak kuasa ku tuliskan karena keterbatasan kata. Yang jelas semuanya telah Allah takdirkan dengan indah, insan yang bijakpun tidak akan serta merta dapat memaknai semua yang terjadi.
Tepat pada hari senin, 22 Desember 2014 adalah “Mother’s Day”. Aku memang belum bisa pulang kerumah dan belum bisa mencium tangan, memeluk, dan bersimpuh di syurga yang indah yang dimiliki ibu. Namun dengan berucap lirih melalui telefon, aku hanya berharap itu bisa mewakili diri ini yang belum bisa kembali ke rumah. Setiap tulisan mungkin terbatas akan karakter dan suku kata, setiap masa mungkin terbatas akan suatu hal yang disebut waktu. Setiap jiwa memiliki keterbatasan akan yang disebut takdir, dan setiap apa yang kita lakukan pasti ada batasan yang disebut jalan Tuhan. Namun Tuhan tak pernah sedetikpun jengah, lelah, bahkan lengah mengawasi hamba-Nya. Tuhan tak pernah sebentar saja menyingkir, namun Tuhan sebenarnya kian mendekat dalam hati, jiwa, raga, dan bahkan setiap denyut nadi, detak jantung, dan derpa langkah yang terkadang terseok.

Jiwa yang terdiam tekadang memaknai
Saduran yang indah terkadang tak dapat mewakili
Syukur itu harusnya tiada henti
Bulan seharusnya memang tak pernah lelah bersinar dalam kelam
Bintang seharusnya tak pernah bersembunyi di balik pekat malam

Hari itu, aku harus menyusul kawan-kawan pengurus HMJ yang masih berlibur di villa. Setibanya di villa, kawan-kawanku sedang asyik menonton film di ruang tengah hingga sebagian dari mereka tidak menyadari bahwa ada penghuni baru yang datang, yaitu aku. “Hehehe, maklum saja mungkin mereka sedang seru-serunya nonton,” pikir ku. Seperti biasanya, disetiap acara aku lebih senang berada di dapur berkutat dengan asap masakan dan bermain dengan bumbu-bumbu di sana. Selepas adzan maghrib berkumandang semua penghuni villa segera melaksanakan ibadah sholat maghrib. Sesuai jadwal, kami akan bersenang-senang di sebuah tempat wisata hingga pukul 21.30 WIB. Namun, belum juga melewati waktu yang disepakati, aku sudah kembali ke villa dan menyiapkan untuk acara selanjutnya yakni bakar jagung dan ubi. Inilah wujud kebersamaan, selama satu kepengurusan kami belajar bagaimana menjadi “Super Team”. Belajar memaknai satu persatu arti kebersamaan, kekeluargaan, tanpa terlupa semuanya berbalut keprofesionalan dalam bekerja.
Selasa, 23 Desember 2014 adalah hari terakhir kami berada di villa dan menjadi hari terakhir pula aku berada di bumi arema untuk selanjutnya aku pulang kerumah melepas rindu dengan keluarga tercinta. Namun rencana tinggalah rencana, manusia hanya bisa memperkirakan jadwal yang akan dilaksanakan. Tetapi pada akhirnya semua akan kembali kepada takdir Tuhan. Usai memasak dan mempersiapkan makan siang bersama kawan-kawan yang lain, tiba-tiba aku memperoleh kabar bahwa nenek dari seorang sahabatku yang hari jum’at lalu aku jenguk di sebuah rumah sakit telah meninggal dunia. Seraya senyuman ku tiba-tiba sirna, semua rasanya membeku dan tak terdengar apapun lagi. Yang berputar dalam pikiran ini adalah bagaimana agar aku secepatnya bisa ta’ziyah, bahkan aku tak berpikir lagi untuk pulang hari itu. Ya, renacanaku untuk pulang harus tertunda dan bagiku itu tak masalah. Satu keinginanku hanya untuk segera berada di samping sahabatku yang tentunya sedang bersedih. Aku segera bergegas untuk pulang ke kos dan selanjutnya bersiap untuk ta’ziyah. Tetapi mungkin benar, bahwa fisik ini punya keterbatasan dan raga memiliki hak untuk mengeluh lagi. Sepanjang jalan aku hanya berdoa bisa sampai di tempat kos dengan selamat karena mata yang semakin sayu untuk menatap keramaian jalan raya. Konsentrasi kian terpecah, aku hanya bisa berdoa dan berupaya untuk tetap sampai di tempat kos. Sesampainya di kamar kos aku tak kuasa untuk langsung melanjutkan perjalanan, akhirnya aku memutuskan untuk mengistirahatkan diri sebentar.
Bangun tidur, aku segera bersiap untuk berangkat. Dengan kepala yang sedikit pening, aku berangkat dengan berpayung awan yang mulai mendung. Aku bahkan sempat berseteru dengan carica yang bersamaku sambil menyusuri jalan karena suatu hal dan kondisi yang mungkin sedang tertekan. Awan mulai menangis, menurunkan air matanya bersama air mataku yang juga ikut turun dengan derasnya. Sambil berusaha menutup telinga dari teriakan carica yang memaksaku untuk berhenti agar aku mau memakai jas hujan. Tapi seolah tak menghiraukannya aku terus melaju menembus hujan dan semakin cepat memacu gas sepeda motor. Entahlah, aku sudah tak memikirkan perihal sakit, flu, atau apapun yang mungkin saja bisa mneyerangku karena hujan. Rasanya hatiku sudah kian menjerit dan ingin cepat sampai. Tetapi aku bersyukur, hati ini masih dilunakkkan dan akhirnya aku berhenti, sepeda motor caica dititipkan dan akhirnya kami berboncengan. Itulah kawan, itulah sahabat, peredam dikala amarah sedang membuncah sekaligus penghapus air mata ketika sedih itu datang mendera.
            Perjalanan kami semakin tak biasa, jalan yang kami lewati ternyata keliru, dan kami harus melewati jalan yang dikatakan banyak orang lumayan menakutkan. Tetapi itulah carica, walaupun banyak yang berkata negatif tetapi jiwanya semakin tertantang untuk menaklukan jalan itu. Syukurlah, akhirnya kami sampai di jalan besar dan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan raya. Maklumlah kami belum pernah berkujung kesana sebelumnya. Kami harus kembali bertanya kepada orang-orang sekitar, ternyata kami harus putar balik. Semakin jauh rasanya kami putar balik tak kunjung kami mnemukan rumah almarhumah. Aku merasakan ada yang berbeda dari motorku.
“nggak ada apa-apa te, itu tadi karena jalan nggak rata jadi rasanya motornya begini,” jawab carica. Aku semakin merasa ada yang aneh, dan aku meminta carica berhenti. Ternyata benar, ban motornya ternyata bocor mungkin karena terlalu banyak masuk lubang yang tertutupi air hujan.
Aku hanya bisa menangis, rasanya hari itu kami sangat apes. Perjalanan jauh tak kunjung sampai malah ban motor bocor. “Oh tidak, jam berapa aku sampai kalau keadaannya seperti ini?,” tanyaku dalam hati sambil terus menangis. Untungnya dan yang sangat aku syukuri adalah kami berhenti tepat di depan tukang tambal ban. Takdir Allah memang lebih indah dari segalanya, dan segalanya memang benar telah di atur dan kita harus menjalankan sebaik-baiknya. Usai ban motor selesai ditambal kami segera melanjutkan perjalanan dengan lebih teliti mengamati kanan kiri jalan mencari bendera penanda rumah yang kami tuju. Akhirnya kami sampai dirumah almarhumah dan bertemu sahabat kami. Oh ternyata, rumah ini sudah kami lewati sebanyak tiga kali. Entah apa yang membuat kami belum jua menyadari dan menemukan rumah ini sebelumnya. Tetapi kenbali kami bersyukur, andaikan kami menemukan rumah ini dengan mudah, dan segala yang kami lewati petang ini tak terjadi mungkin kisahnya tak akan seru seperti ini.
            Esok hari, waktunya aku kembali pulang ke Tulungagung setelah kemarin tertunda. Aku menyusuri jalanan di bawah terik matahari yang tersenyum cerah siang ini. Aku dirumah hanya sehari semalam, karena tiket kereta perjalanan ke Surabaya untuk mengikuti acara keluarga di sana sudah tersedia dan recananya aku akan kembali kerumah pada hari senin. Tiada terasa sudah beberapa hari aku berada dirumah kakak di Surabaya hingga tak terasa sudah hari Minggu, 28 Desember 2014.
“Hari-hari itu aku merasa memiliki keluarga yang sempurna, melihat bapak, ibu, kakak-kakak ku, sepupu, dan keponakan berkumpul bersama. Walaupun aku hanya terdiam mematung di ruangan ini, tetapi setidaknya aku merasa memiliki keluarga yang lengkap hari-hari ini. Hanya bisa tersenyum dan menangis di dalam hati saja. Berpura-pura sibuk dengan urusan ku sendiri. Padahal tanpa mereka tahu sebenarnya aku sedang menyimpan segudang rasa yang tak perlu diungkapkan kepada mereka,” ujarku dalam hati sambil menyaksikan keakraban canda tawa diruang itu.
Iya, begitulah adanya dan takdir yang harus kami jalani. Aku dan bapak memang tinggal terpisah karena keputusan bapak dan ibu untuk tidak bersama sejak aku masih bayi. Aku dan bapak terpisahkan oleh jarak Tulungagung-Surabaya. Dan jarak diantara kami terasa semakin luas karena komunikasi yang sangat minim diantara kami. Inilah pembelajaran yang datang seperti hujan mutiara bagiku. Aku semakin didewasakan oleh keadaan yang tak biasa dan didikan yang luar biasa oleh takdir Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Aku hanya berharap bisa berbagi cerita dengan anak-anak sesama broken home  bahwa hidup tak berhenti dititik itu. Keluarga yang tak utuh bukanlah penghalang untuk terus maju meraih mimpi. Kasih sayang yang mungkin saja timpang bukan lagi alasan untuk menjadikan diri ini membabi buta menuangkan semua kekesalan kepada lembah hitam yang sewaktu-waktu dapat menjerumuskan kita. Aku juga ingin belajar bersama anak-anak yang memiliki keluarga lengkap akan makna kesyukuran diberi nikmat kelengkapan kasih sayang dan arti memiliki keluarga.
Dalam hangatnya Susana diruang itu, aku mendengar handphone ibu berbunyi, dan ibu bergegas mengambilnya. Namun ternyata sudah terlambat, panggilan masuk itu sudah dimatikan. Panggilan itu dari nomor yang tidak dikenali oleh ibu, kami kira itu adalah panggilan dari bunda (panggilanku kepada adik ibu) yang merantau di luar negeri. Selang beberapa detik kemudian handphone kakak ku juga berbunyi dan bergegas diambil, ternyata itu adalah panggilan dari adik ibu yang beada di rumah Tulungagung. Segera kakak ku memberikan telefon itu kepada ibu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un,” hanya kata itu yang terlontar dari ibu setelah mengangkat telefon.
“siapa yang meninggal,” tanya kakak ku dengan sigap.
“kakek mungkin,” kataku dengan spontan seperti aku sudah memperoleh petunjuk dan tak menyebutkan opsi yang lain. Ternyata benar yang ku ucapkan, kakek ku tercinta telah berpulang. Beliau meninggalkan aku sebelum aku memandikan, menyuapi, bahkan merawatanya kembali. Aku sudah beberapa minggu tak bertemu kakek yang berada di kamar belakang di rumah adik ibu. Aku hanya mendengar cerita tentang kondisi dan keadaan beliau dari ibu yang setiap hari merawat beliau. Aku semakin menyesal ketika aku teringat bahwa aku belum menengok beliau ketika aku berada dirumah sehari semalam. Sekarang, semuanya sudah terlambat dan perjalanan secepat apapun tak mungkin membawa ku secepat kilat sampai dirumah. Aku dan seisi rumah segera bangkit dari tempat duduk, tanpa berpikir panjang kami segera memasukkan semua keperluan ke dalam tas yanga akan di bawa ke Tulungagung. Bersama air mata yang menetes semua barang bawaan segera disiapkan. Kami teringat bahwa salah seorang keponakan ku belum pulang dan masih bermain di luar rumah. Sambil terus menghubungi anaknya, kakak ku bermaksud menunggu anaknya pulang baru kemudian kami berangkat. Tetapi tangisan ku kian menjadi dan tak dapat ku tahan lagi. Mungkin tak tega mendengarkan aku, kakak iparku segera mengajak berangkat dan memutuskan untuk menitipkan anaknya yang belum datang kepada saudara disana.
Rabb.. Sungguh semua yang hamba miliki di dunia adalah milik-Mu
Maka jangan biarkan hamba mengingkari apa yang sejatinya akan kembali kepada-Mu
Sejatinya semua akan kembali ke pangkuan-Mu
Hamba tak boleh sedikitpun berkilah
Justru sesungguhnya hamba amatlah dekat dengan kesyukuran
Sepanjang jalan aku merenungi rentetan peristiwa yang terjadi. Rasanya segalanya telah begitu indah dirangkaikan Tuhan untuk hamba-Nya yang penuh akan derasnya hujan dosa. Sembari mobil terus menembus keramaian kota, bulir air mata tiada henti berjatuhan membasahi wajah yang kian sendu dan sembab. Mungkin inilah yang disebut dengan petir di siang bolong, benar aku merasakan. Rasanya memang menggelegar, sekejap membekukan suasana. Aku terdiam dari tangis karena tertidur di dalam mobil yang terus melaju.
Ketika aku terbangun, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi yang sekejap hilang dan lantas pergi beriringan dengan terbukanya kedua kelopak mata ini. Sungguh pedih, ternyata aku masih saja berada di dalam mobil yang sama yang membawaku melaju kencang menyusuri jalanan dan masih dengan tujuan yang sama. Aku hanya bisa diam, bepura-pura tak lagi menangis dalam keramaian, hanya terdiam dan menyimpan sebongkah pengharapan yang rasanya sulit untuk tercapai. Ya, sederhana mungkin tetapi rasanya sudah tak mungkin., jarak tempuh Surabaya-tulungagung kurang lebih memakan waktu 4-5 jam tak akan sanggup dipercepat walaupun aku berharap keajaiabn datang, jarak ini diperpendek atau mobil ini melesat secepat kilat. Terlalu konyol, hanya saja inilah mimpi seorang cucu yang ingin bertemu sang kakek untuk terakhir kalinya. Kakek yang mengajarkan betapa kerasnya hidup. Mengajarkan makna iya adalah iya, dana tidak adalah tidak. Tak ada jawaban selain itu karena sebuah arti ketegasan walaupun terkadang hal itu sangatlah keras dan terkesan menutup telinga akan pendapat orang. Tetapi itulah berlian yang mungkin tak dapat ku temui di tempat lain di lapisan dunia bagian manapun. Jiwa keras dan tahan banting tanpa disadari sedikit demi sedikit telah melekat, seperti sosok bapak yang kesekian yang hadir melengkapi hidup ku. Iya, beliau seperti pengganti bapak walaupun aku tahu bahwa sosok bapak tak akan terganti oleh siapapun di dunia fana ini. Namun begitu, aku juga tak dapat memungkiri bahwa kakek seringkali menjadi orang kedua setelah ibu sebagai tempatku bersimpuh setiap hari kemenangan yakni hari raya idul fitri tiba. Entah tahun-tahun berikutnya siapa yang akan menggantikan posisi itu sungguh belum terbayang sama sekali dalam benakku yang masih saja kalut. Aku terus berusaha bersabar untuk sampai di rumah, walaupun aku tahu akau sudah tidak bisa melihat kakek ku lagi.
“jika nanti aku tidak bisa bertemu kakek, boleh ya bu besok aku ke makam beliau,” pintaku lirih kepada ibu. Beliau yang memahami kepedihanku langsung mengiyakan permintaanku. Benar saja, setibanya dirumah suasana sudah lengang. Walaupun masih terus berdatangan orang-orang yang berta’ziyah. Aku masih belum percaya bahwa ini adalah nyata.
            Hingga tengah malam aku masih saja merenungi hari-hari yang sudah terjadi. Menyibak kembali hari-hariku selama di Malang hingga detik ini aku kehilangan kakek ku. Seperti sebuah kaledioskop 2014, tahun ini rentetan yang terjadi begitu tertata rapi terbungkus takdir Ilahi. Plakat kemenangan ku bersama sahabat-sahabatku memenangkan sebuah kompetisi masih terpajang rapi di sudut kamar kos. Firasat mengenai usia yang tak tahu hingga kapan diberi kesempatan membuka mata kembali, hingga kecelakaan yang sempat ku alami rasanya merupakan pelajaran yang teramat berharga. Paket liburan yang dihadiahkan Allah dengan beruntun, dan pil pahit yang harus ku telan karena meninggalnya kakek rasanya begitu jelas masih tergambar dalam ingatanku. Tiada guna kini ku sesali kembali apa yang sudah terjadi. Karena jauh dari segalanya, yang menjadi bagian terpenting adalah bagaimana caraku memaknai hidup yang terus menerus bergulir beriringan dengan waktu yang tiada henti mengukir kenangan. Do’a yang mengalir rasanya lebih layak dan jauh lebih pantas untuk ku hadiahkan kepada kakek sebagai wujud kasih sayangku. Walaupun sekarang aku hanya memiliki kuasa untuk mengelus dan mencium batu nisan beliau, tetapi bagiku ketenangan beliau di sisi-Nya adalah anugerah yang tak tertandingi oleh apapun. Aku bersyukur Allah masih memberi ku kesempatan untuk membuka mata disetiap pagi ku. Menyaksikan mentari yang tersenyum dengan hangatnya. Kini aku mngerti bahwa Allah sengaja mengatur segalanya untukku dengan sangat baik, mungkin aku harus berlatih lebih peka akan setiap hal yang aku rasa. Satu lagi hkmah besar dari seluruh rentetan kisah ini adalah datangnya bapak kembali ke rumah Tulungagung setelah sekian lama kurang lebih 19 tahun beliau tak pernah berkunjung kemari, Subhanallah.
            Malam pergantian tahun akan segera datang esok hari, tetapi mungkin akan jauh berbeda. Pergantian tahun kali ini tak ada gegap gempita suara terompet dan kembang api yang merekah indah dilangit lepas. Malam pergantian tahun kali ini adalah wahana untuk bertafakur, mendengarkan setiap Kalimatullah yang setiap malam selama tujuh hari ini insyaallah berkumandang di rumah. Mengiringi kepergian kakek kami tercinta menuju kehadirat-Nya. Mungkin inilah ladang renungan yang dipersiapkan oleh Tuhan untuk menjadikan kami semakin bijak dalam memandang hakikat kehidupan. Semua milik-Nya, dan kepada-Nya segalanya akan kembali. Sempat merasakan keringnya iman seperti kemarau panjang, derasnya derai air mata yang turun bak hujan yang membasahi bumi, hingga upaya bangkit dari sebuah keterpurukan laksana bunga sakura yang kembali merekah di musim semi penghujung tahun mungkin telah terlewati. Namun kehidupan sejati tak akan pernah berhenti. Manusia yang tangguh adalah ia yang dapat melewati segalanya dengan tetap belajar tentang apa yang disebut ikhlas, Sabar, dan tawakal. Hingga suatu hari seluruh mimpi akan tercentang, orang tua akan tersenyum, sekitar akan merasa bahagia, dan semesta akan menyambut dengan sayup sang bayu yang kian menyegarkan takdir yang teramat indah. Hidup akan terus berjalan, sang waktu akan selalu berputar, pagi berganti siang dan siang berganti malam, serta malam kembali berganti pagi. Semangat harusnya tak pernah padam, rentetan mimpi harusnya tak pernah berhenti dikejar, semua lembaran lama telah tercatat dan tertumpuk rapi di atas rak untuk kapan saja bisa di ambil dan dibuka kembali untuk dijadikan pelajaran atau bahkan referensi menatap hidup ke depan. Namun, lembaran berisi deretan mimpi selanjutnya juga telah siap terpampang rapi. Menunggu ikhtiar dan doa yang tiada henti untuk mencapainya.
Sedari dulu hakikat kehidupan hanya Engkau yang Maha Mengetahui
Insan-insan tempat khilaf dan dosa bermuara
Terkadang tak terjaga oleh lapisan iman
Terkadang terkikis hilang lenyap seketika teriris
Bila segalanya milik-Mu
Hakikat akan menjadi hakikat
Tak terbantahkan, tak terelekkan sedetikpun
Sepintas lewat lalu lalang tak terbayang
Keabadian sebuah hikmah tak jua akan terhapuskan
karena itulah yang disebut sebuah keniscayaan

Salam Penulis J
Selasa, 30 Desember 2014
Tulungagung 23:41 WIB






    BIODATA PENULIS

Nama Panggilan                    : Ulfa
Nama Lengkap                      : Ulfa Romlah
Tempat, Tanggal Lahir        : Tulungagung, 14 Juli 1994
Alamat                                    : - Jl. Dewi Sartika Dusun Klaten Rt 3/Rw 5
    Desa Tegalrejo, Kecamatan Rejotangan,
    Kabupaten Tulungagung
-  Jl. Mayjend Panjaitan No. 53 Gang V, Malang
Nomor Handphone               : 085736752744
PIN BB                                   : 7F49A9A5
Akun Facebook                     : Ulfa Romlah
Blog                                        : http://ulfaromlah14.blogspot.com/















Assalamu’alaikum wr.wb.
                Tarian jemari ini tak akan pernah bermakna tatkala apa yang tertuang di dalamnya sama sekali tak bermanfaat bagi sesama. Saya berharap karya kecil ini dapat memberikan inspirasi dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Hakikatnya hidup adalah sebuah ladang pembelajaran yang tiada habisnya dapat dipetik hikmahnya yang terkadang tersembunyi. Begitu pula hidup yang saya jalani, rasanya keseluruhan dari hidup yang dihadiahkan Allah harus selayaknya saya syukuri tanpa terkecuali. Sebuah karya tak akan pernah muncul kepermukaan jika tak ada yang memberikan stimulusnya, saya percaya itu. Karena sebuah karya besar sering kali terilhami dari berbagai kisah yang melatar belakangi. Hampir seluruhnya saya tulis dan tercatat serapi mungkin di sini, agar suatu hari mungkin anak cucu saya bisa membacanya kembali. Sungguh saya hanya ingin berbagi, menebarkan kisah-kisah yang sekali lagi saya harap dapat menginspirasi kita semua. Memetik hikmah, menuai pembelajaran, dan mengantonginya sebagai bekal untuk terus hidup ke depan. Menggapai dan meraih semua mimpi dan impian.
Seluruh karya yang mungkin pernah saya tuliskan tak lepas dari barisan orang-orang hebat yang berjajar mendidik, membimbing, dan mengarahkan saya. Serta tak henti-hentinya mencurahkan inspirasi yang tiada pernah habisnya. Puji syukur saya panjatkan kepada Pencipta dan Pemilik jiwa dan raga ini Yang Maha Hakiki, Kekal, lagi Abadi, yakni Allah Aza Wa Jalla yang selalu mengizinkan netra ini terbuka kembali disetiap pagi. Baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang sennatiasa menjadi panutan dan suri tauladan bagi umatnya. Terimakasih yang tiada terukur kepada Ibunda tercinta, Bapak, Bunda di perantauan, kakak-kakak, adik-adik, sahabat semua yang selalu menjadi sumber inspirasi disetiap tulisan saya. Menjadi api penyemangat yang setiap saat siap berkobar, dan memberikan pundak disetiap raga ini memerlukan sandaran dan ruang untuk berbagi.
Teristimewa untuk karya ini, terimakasih kepada kakek tercinta, semoga engkau tenang berada di sisi-Nya. Terimakasih telah ikut serta memberikan warna-warni dalam alur cerita cucu mu ini. Semoga doa-doa yang kami panjatkan sampai kepadamu di sana. We Love You So Much..
 Wassalamu’alaikum wr.wb.

Salam Penulis J
Rabu, 31 Desember 2014
Tulungagung 00:24 WIB